Jumat, 06 September 2013

PULANG

DAPUR SASTRA-FF 500-BP
PULANG
by: Ono Takashih

Mungkin, kondisi ini yang dimaksud dengan selalu ada hikmah dalam setiap musibah. Kematian Om Harun, suami Bibi Yanti adik ibuku, menjadi solusi untuk keluarga kami. Aku mendapatkan sosok pengganti ibu yang bertahun-tahun diperankan oleh Bapak. Selama ini bentuk kasih sayang dan perhatian yang kudapat hanyalah telepon dan kiriman uang dari Ibu di Taiwan.

Tak ada yang lebih indah dari kebersamaan ini, pupus sudah kerinduan terhadap sosok ibu. Bi Yanti bukan sekedar ibu, tapi juga mentor dan sahabat terbaikku. Aku menikmati saat-saat kami berdua mencoba resep-resep masakan baru, membuat aneka kue kering dan memilih pakaian untuk lebaran atau pergi ke pesta ulang tahun teman. Bahkan  tanpa sungkan lagi membincangkan ketertarikanku kepada Ryan, kakak kelasku di SMU.

Tak terasa tiga tahun sudah Bi Yanti tinggal dan memberi sentuhan terang kepada kami. Wajah Bapak kembali berseri-seri, beliau tampak asyik dan menikmati rutinitasnya yang baru, menagih bayaran, mencatat pesanan dari toko dan pelanggan kue-kue kering kami. Alhamdulillah usaha kue kami berjalan lancar dan cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari, bahkan kiriman dari ibu tetap utuh tak tersentuh. Sebagai kepala rumah tangga ada kebanggaan sendiri bisa berperan dalam perekonomian keluarga. Sesuatu yang lama menghilang dan sangat dirindukannya karena harus memerankan sosok ibu untukku anak semata wayangnya.

"Telepon dari siapa, Pak?"
"Dari Ibumu, Nduk."
"Tumben Ibu telepon, ada kabar apa?"
"Sebentar lagi Ibumu pulang dan tidak akan kembali merantau, Nduk."
"Kapan kita pergi menjemputnya, Pak?"
"Ibumu bilang tidak usah dijemput, sebab tanggalnya belum pasti."

Lelaki separuh baya itu, pandangannya menerawang jauh seperti hendak mencari jawaban. Kerutan di kening dan hembus nafasnya yang sedikit panjang semakin menegaskan himpitan beban. Ada seraut senyum saat wanitanya yang setia datang, lalu bersandar di lengannya yang putus sebatas siku. Dikecupnya anak-anak doa yang bergulir pada helai rambutnya yang bergerai. Mereka pun tenggelam dan membiarkan sunyi mencumbui mimpi-mimpi.

Sejak mendengar kabar kepulangan Ibu, selepas melakukan rutinitasnya Bapak terlihat murung dan kerap merenung di pondok belakang rumah yang berbatasan dengan pintu dapur. Seperti biasanya, dengan telaten Bi Yanti membujuk makan atau datang menghibur. Entahlah, sedikit pun tak terbersit rasa marah atau dendam melihat kemesraan mereka. Terlebih kepada Bi Yanti yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
"Aku sayang Bapak dan Bi Yanti."
"Kami juga menyayangimu, Nduk."
Dalam dekapan mereka aku benar-benar nyaman dan tak ingin kehilangan.
Brakk...
Suara pintu dapur yang terbuka membuyarkan cengkrama kami.
"Marni!"
"Mbak Marni!"
Dunia ini tiba-tiba saja gelap, ketika Bapak dan Bibi memanggil nama ibuku kepada wanita hamil yang ada di hadapan kami.

Jkt 060913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar