Senin, 16 September 2013

BENDUNGAN JEBOL

BENDUNGAN JEBOL

bendungan jebol
luapnya hitam kental air mata
di dasarnya karam rupa-rupa
nama-nama, desa dan wajah tercinta

di atasnya
wajah-wajah tolol panik sebentar
menutup buku, matikan tv, pergi ke luar
sampai juga di ketiak orang-orang besar
sesudahnya, dayang-dayang menunggu dalam kamar

mata itu kembali berbinar
"Biar saja mereka, hanya sebatas kata-kata yang berkobar."

hingga lumpur membatu di kaki
hingga darah terkuras di pipi
pecah sesak di dada jelata
gemuruhnya tak pernah sampai istana

คкรคгค  
ђคtเ
๏ภ๏  tкรђ
ןкt 170913

HUJANMU (14)

HUJANMU (XIV)

sedikit pun tak ada tanda-tanda kau kan jemu dan berhenti mencumbu
ah, sayang... andainya kau tahu tiap tetesannya adalah rindu
mungkin kau yang akan lebih sering membiru
sebab terlalu asyik dan jauh memburu
mendekatlah, biarkan kuyup dalam deru
lalu kita nikmati saja getar-getar haru
selalu, sebagai sebuah kelahiran baru

semudah itukah hujan?
ia berhamburan merupa warna-warni pengulangan
setiap perciknya yang luput dari tengadah tangan hanyalah bentuk lain pemulangan
lesap menghuni tanah, aroma basah sepanjang jalan dan alir kepada lautan sebelum naik oleh mentari yang menjadikannya kembali benih-benih hujan

seperti juga harapan
reguklah kehilangan
dengan cintanya yang memberi nikmat sempurnanya kematian


คкรคгค  
ђคtเ
๏ภ๏  tкรђ
ןкt 110913

PEREMPUAN PEMETIK SUNYI

PEREMPUAN PEMETIK SUNYI

Dan...
harapan kembali mengalun, meretas jalan di celah-celah kegelapan
saat sunyi kau gubah menjadi melodi yang kau mainkan penuh perasaan

di setiap pergesekan nadanya, ada rindu yang berhaburan keluar mencari tuannya
sesekali menoleh ke belakang, sekedar memastikan luka telah pusara
lalu kembali berjalan, membiarkan bunga menjadi humus doanya

rembulan temaram ditingkahi senandung satwa malam, turut melapangkan semesta dari mendung yang mulai congkak dan paraunya kicauan gagak
bukan lagi memaknai jejak, tapi terbuka jalan terang setapak mula berpijak

kau sama sepertiku, suara-suara pada cermin bergetaran menjelma kabar
kita pun membiarkannya begitu saja tanpa hingar bingar, hingga ia di puncak nalar

sungguhpun belukar jarak ini telah menorehkan getah pada sunyi yang benalu
kita hanyalah dawai kecil mengeja partitur doa di tubuh waktu, hingga usia titik membatu


คкรคгค  
ђคtเ
๏ภ๏  tкรђ
ןкt 100913

 

Jumat, 06 September 2013

PULANG

DAPUR SASTRA-FF 500-BP
PULANG
by: Ono Takashih

Mungkin, kondisi ini yang dimaksud dengan selalu ada hikmah dalam setiap musibah. Kematian Om Harun, suami Bibi Yanti adik ibuku, menjadi solusi untuk keluarga kami. Aku mendapatkan sosok pengganti ibu yang bertahun-tahun diperankan oleh Bapak. Selama ini bentuk kasih sayang dan perhatian yang kudapat hanyalah telepon dan kiriman uang dari Ibu di Taiwan.

Tak ada yang lebih indah dari kebersamaan ini, pupus sudah kerinduan terhadap sosok ibu. Bi Yanti bukan sekedar ibu, tapi juga mentor dan sahabat terbaikku. Aku menikmati saat-saat kami berdua mencoba resep-resep masakan baru, membuat aneka kue kering dan memilih pakaian untuk lebaran atau pergi ke pesta ulang tahun teman. Bahkan  tanpa sungkan lagi membincangkan ketertarikanku kepada Ryan, kakak kelasku di SMU.

Tak terasa tiga tahun sudah Bi Yanti tinggal dan memberi sentuhan terang kepada kami. Wajah Bapak kembali berseri-seri, beliau tampak asyik dan menikmati rutinitasnya yang baru, menagih bayaran, mencatat pesanan dari toko dan pelanggan kue-kue kering kami. Alhamdulillah usaha kue kami berjalan lancar dan cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari, bahkan kiriman dari ibu tetap utuh tak tersentuh. Sebagai kepala rumah tangga ada kebanggaan sendiri bisa berperan dalam perekonomian keluarga. Sesuatu yang lama menghilang dan sangat dirindukannya karena harus memerankan sosok ibu untukku anak semata wayangnya.

"Telepon dari siapa, Pak?"
"Dari Ibumu, Nduk."
"Tumben Ibu telepon, ada kabar apa?"
"Sebentar lagi Ibumu pulang dan tidak akan kembali merantau, Nduk."
"Kapan kita pergi menjemputnya, Pak?"
"Ibumu bilang tidak usah dijemput, sebab tanggalnya belum pasti."

Lelaki separuh baya itu, pandangannya menerawang jauh seperti hendak mencari jawaban. Kerutan di kening dan hembus nafasnya yang sedikit panjang semakin menegaskan himpitan beban. Ada seraut senyum saat wanitanya yang setia datang, lalu bersandar di lengannya yang putus sebatas siku. Dikecupnya anak-anak doa yang bergulir pada helai rambutnya yang bergerai. Mereka pun tenggelam dan membiarkan sunyi mencumbui mimpi-mimpi.

Sejak mendengar kabar kepulangan Ibu, selepas melakukan rutinitasnya Bapak terlihat murung dan kerap merenung di pondok belakang rumah yang berbatasan dengan pintu dapur. Seperti biasanya, dengan telaten Bi Yanti membujuk makan atau datang menghibur. Entahlah, sedikit pun tak terbersit rasa marah atau dendam melihat kemesraan mereka. Terlebih kepada Bi Yanti yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.
"Aku sayang Bapak dan Bi Yanti."
"Kami juga menyayangimu, Nduk."
Dalam dekapan mereka aku benar-benar nyaman dan tak ingin kehilangan.
Brakk...
Suara pintu dapur yang terbuka membuyarkan cengkrama kami.
"Marni!"
"Mbak Marni!"
Dunia ini tiba-tiba saja gelap, ketika Bapak dan Bibi memanggil nama ibuku kepada wanita hamil yang ada di hadapan kami.

Jkt 060913