Senin, 06 Mei 2013

PELANGI DI ATAS LUKA

PELANGI DI ATAS LUKA

Harum kenanga ini membuat debar jantungku bersicepat tak sabar, sepertinya aku terlambat dan tak sempat, kedatanganku kali ini bukan semata mengusung dendam. Saat-saat akhir menjelang kepergianmu adalah moment yang tepat, mempertontonkan kebahagiaanku mungkin bisa membuatmu lebih menderita.
Luka itu masih dalam membekas, dendam ini begitu bara di dada.

Tiga belas April 5 tahun yang lalu, kala kuterbaring mengerang pada batas yang sangat tipis antara hidup dan kematian,hanya ada darah dan pisau bedah di tubuhku yang lemah tak merasakan apa-apa selain gelap kesunyian, berjuang sendirian tanpa kau yang tiba-tiba berubah pengecut, menghilang tiada kabar.

Rumah mungil ini tetap asri sederhana, berpagar melati dan asoka dengan bangku taman di bawah rimbunnya pohon mangga pada pekarangannya. Masa-masa yang indah, dimana setiap keinginanku yang hinggap
pada dahan, ranting atau pucuk daunnya selalu kau petikkan untukku.

"Eh.. Non Wulan, silahkan masuk, makin cantik dan sehat ya Pak?"
"Benar Bu, den Arya memang pintar merawat dan membahagiakan istrinya." Senyum kemenangan tersungging di bibir Wulan
"Kau dengar itu Bima, ingin rasanya melihat mimik mukamu saat ini."
"Ah, Bapak Ibu terlalu memuji."
"Oh ya, ke mana Bima, istri dan anaknya?"
"Dia terlalu asyik dengan kesendiriannya,baru kemarin ia pergi."Kami sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih atas budi baik suamimu Arya, selama ini telah menyempatkan menjenguk juga menanggung semua biaya pengobatannya."
"Ahh, rupanya lantaran sahabatmu ini, bukan alasan rapat dengan relasi yang
menyulut pertengkaran kecil kita akhir-akhir ini, maaf aku telah berburuk sangka padamu Arya."
"Sebentar, ini Bima ada menitipkan surat untuk Non Wulan."

Wulanku...

10 April
Tiada yang lebih mencemaskan dari ini, melihat kondisimu semakin parah dan yang lebih menyakitkan aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku pergi ke kota menemui sahabat kita Arya, dialah solusi terbaik untukmu dan cinta ke depannya.

13 April...
Hari ini cintaku telah moksa dengan sempurna bersama naiknya jalan cahaya
meninggalkan kampung dan tubuh tercinta, usai kutanamkan denyut vital pada organmu yang anfal. Jangan kau jatuhkan lagi butiran banal, sebab aku tak ingin sia-sia dan gagal.

14 April...
Ternyata tuhan masih bermurah hati memberiku kesempatan sekali lagi merasakan nikmat dunia, kuharap kebaikan dan doa yang sama untukmu di
kamar seberang.

18 April...
Serupa menanggalkan beban, nafasku sungguh lapang dan lega, melihat rona segar wajahmu tersapu mentari pagi. Tatap mesra matamu adalah masa depan cinta bersama Arya yang kan selalu setia menjaga. Tiada lagi kecemasan, aku dapat pergi dengan tenang sekarang.

Bunga Pangestika...
Sudah 3 tahun lewat, sepertinya baru kemarin nama itu kuberikan pada putri pertamamu, hari ini kalian tambahkan kebahagiaan dan kebanggaan kepadaku, lewat namaku yang kau sematkan pada putra keduamu. Arya Bima Setya, nama-nama yang membuatku selalu terharu bahagia. Rasanya tak ada lagi yang harus kukejar di dunia ini, satu-satunya impianku
melihatmu bahagia telah terlaksana. Menjadi bagian kecil dari perjalananmu adalah nikmat cinta yang sebenarnya.Saatnya kutinggalkan hingar bingar fana, menuju rumah kekasih tercinta, semoga ada tempat untukku di sana dalam perjamuan agung-Nya.

Bola cahaya mengecil di sudut mata
Kekasih, ingin kuselipkan di sanggulmu bunga
Melati dari kuncup pertama benih-benih cinta
Sebening embun, hilangku luruh di langit doa.

ps: usai kau baca, bakarlah surat ini, taburkan abunya bersama bunga dan doa di atas pusaraku

Gerimis di luar sana, mata Wulan mulai berkabut, terasa lemas persendian, tanpa sadar surat terlepas dari genggaman.
Seperti mimpi, seketika sayup-sayup terdengar lagu HUJAN BULAN APRIL, lagu yang dulu kerap kau senandungkan saat kita berteduh.
" ♪♬kita berdua... senasib dan serupa penderitaan
Tetes hujan kuusap musnah di pipimu
oooh ho sayang...♬♬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar